Monday, September 22, 2008

Economics Review

Kebijakan Industri dan Sektoral Republik Indonesia


Indonesia telah mengalami pertumbuhan perekonomian dan transformasi struktural yang sangat cepat selama 3 dekade sebelum krisis 1997-1998. Perubahan tersebut telah mampu menggeser dominasi sektor pertanian, yang digantikan oleh sektor manufaktur, dalam struktur perekonomian di Indonesia, baik dari sisi penyerapan tenaga kerja maupun output yang dihasilkannya.

Pergeseran di kedua sektor tersebut merupakan arah dan kebijakan pembangunan ekonomi Pemerintah Indonesia. Terjadinya penurunan di sektor pertanian disebabkan oleh kecilnya kemungkinan sektor tersebut untuk berkembang. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa di sekitar tahun 1965 sektor pertanian merupakan andalan pendapatan pemerintah. Sehingga untuk mengatasi penurunan pendapatan tersebut pemerintah berupaya untuk menumbuhkan perekonomian negara melalui kebijakan lintas sektoral berbasis manufaktur. Hal ini disebabkan karena sektor manufaktur mampu untuk menciptakan nilai tambah atas produk-produk pertanian dasar menjadi produk-produk pertanian yang bernilai tambah.

Data BPS menunjukkan bahwa Indonesia merupakan negara pengekspor produk-produk pertanian dasar yang merupakan bahan baku dari industri manufaktur di negara lain, namun di sisi lain Indonesia juga merupakan negara pengimpor produk-produk pertanian yang telah mengalami proses produksi lebih lanjut di negara eksportir tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa kita telah kehilangan kesempatan untuk mendapatkan tambahan pendapatan dari proses transformasi produk-produk pertanian dasar, sebagai input sektor manufaktur, menjadi produk-produk pertanian berteknologi tinggi, yang merupakan output sektor manufaktur.

Peran yang diharapkan atas pertumbuhan di sektor industri manufaktur adalah penciptaan lapangan pekerjaan dan tambahan pendapatan negara, mempercepat pertumbuhan perekonomian, dan meningkatkann volume ekspor produk-produk industri serta menekan volume impor melalui penciptaan produk-produk subtitusi impor.

Kemudian, perkembangan sektor manufaktur akan diikuti oleh pertumbuhan pada sektor sekunder, seperti jasa konstruksi, transportasi, kelistrikan, gas, dan suplai air bersih, dan sektor tersier, seperti industri jasa keuangan. Dengan kata lain industri sekunder dan tersier tersebut merupakan faktor yang penting dalam proses industrialisasi. Hal ini dikarenakan dalam usaha untuk mengembangkan sektor manufaktur diperlukan dukungan sarana atau infrastruktur, seperti jalan raya, kompleks perindustrian, gedung perkantoran, dan jasa keuangan. Sehingga seiring dengan proses industrialisasi tersebut, sektor sekunder dan tersier atau yang dapat disebut sebagai sektor jasa juga akan memiliki tren pertumbuhan yang positif.

Pertumbuhan sektor jasa merupakan efek samping dari kebijakan lintas sektoral pemerintah untuk mengembangkan sektor manufaktur. Pertumbuhan sektor ini didorong oleh usaha penyediaan infrastruktur yang dapat mendukung perkembangan sektor manufaktur. Tanpa dukungan infrastruktur yang baik, maka sektor manufaktur tidak akan mampu berkembang dengan baik.

Secara umum dapat dikatakan bahwa kebijakan sektoral yang diterapkan oleh negara yang berada pada siklus perkembangan pertama, yaitu underdevelop country, biasanya cenderung kepada pengembangan sektor usaha primer, seperti pertanian dan pertambangan. Sehingga hal tersebut mengakibatkan dominasi sektor primer didalam perekonomian tidak dapat lagi dihindari.

Namun seiring dengan perkembangan suatu negara menuju fase yang disebut sebagai developing country, arah kebijakan industri dan sektoralnya akan beralih kepada sektor manufaktur. Sehingga dengan bertumbuhnya sektor industri tersebut, maka akan menyebabkan melemahnya dominasi sektor primer didalam perekonomian.

Kemudian dalam proses kedewasaan sektor manufaktur di suatu developing country, fase terakhir yang akan dilewati oleh developing country tersebut untuk beralih menuju developed country adalah kemajuan di sektor jasa. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa suatu negara dikategorikan sebagai developed country jika arah kebijakan industri dan sektoralnya tidak lagi berfokus pada sektor usaha primer dan manufaktur, melainkan sektor jasa. Sehingga hal tersebut secara tidak langsung akan menyebabkan dominasi sektor manufaktur tidak lagi terjadi di dalam perekonomian suatu developed country.

Sekian

Adhitya Cahya Nugraha

Employment Reviews

Mismatch pendidikan dan PEKERJAAN

I. Pendahuluan

Ketimpangan antara sector ketenagakerjaan dan pendidikan di Indonesia merupakan suatu permasalahan yang kompleks. Keadaan ini sering lepas dari perhatian kita, baik kalangan pemerintah maupun akademisi.

Ketimpangan ini merupakan akibat dari ketidakseimbangan antara pertumbuhan jumlah lulusan institusi pendidikan, mulai sekolah dasar (SD), sekolah menengah pertama (SMP), sekolah menengah atas (SMA), akademi, dan atau perguruan tinggi (PT), dengan pertumbuhan sektor industri, seperti industri pertanian, pertambangan, manuaktur, energi, perdagangan, transportasi, keuangan, dan atau personal services.

Pendekatan yang komprehensif sangat diperlukan untuk mengatasi hal tersebut. Kolaborasi antara dunia usaha dengan dunia akademis diharapkan akan dapat menciptakan suatu sinergi untuk mewujudkan daya saing negara yang tinggi, yang mampu bersaing menuju era globalisasi.

II. Populasi Penduduk dan Tipe Aktifitasnya

Data statistik ( Badan Pusat Statistik ) BPS mengatakan bahwa pada tahun 2004-2005 telah terjadi peningkatan pada (1)tingkat pengangguran, (2)banyaknya angkatan sekolah, (3)banyaknya jumlah pekerjaan dan (4)banyaknya tenaga kerja, yaitu sebesar masing-masing 16%, 17%, 0,3% dan 2%, sedangkan pada tahun 2005-2006 masing-masing -8%, -0,4%, 2% dan 1%, dan untuk periode tahun 2006-2007 masing-masing -8%, 2%, 5% dan 3%.

Data tersebut mengindikasikan bahwa pada tahun 2004-2005 telah terjadi perbaikan tingkat kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan yang merupakan manivestasi gerakan wajib belajar 9 tahun, yang terbukti dengan semakin bertambahnya siswa sekolah hingga 17%, dan sebagai implikasinya adalah peningkatan jumlah pengagguran yaitu sebesar 16%. Dampak lain dari hal tersebut adalah rendahnya peningkatan lapangan pekerjaan yang tersedia, yaitu sebesar 0,3%, sedangkan tenaga kerja lulusan sekolah yang tersedia meningkat sebesar 2%.

Secara umum, gerakan wajib belajar 9 tahun telah berkontribusi atas menurunnya jumlah pengangguran di Indonesia, namun masih belum dapat diimbangi oleh ketersediaan lapangan pekerjaan formal. Sehingga masyarakat lulusan sekolah lebih banyak bekerja pada sector non formal, seperti berdagang, bertani, maupun berprofesi sebagai personal services.

III. Kondisi Industri

Hasil statistik BPS tahun 2004-2007 menginformasikan kepada kita bahwa terdapat beberapa industri yang mengalami peningkatan dan penurunan tren penyerapan tenaga kerja. Beberapa diantaranya adalah :

A. Peningkatan

· 2004-2005

Industri-industri yang memiliki tren positif seperti (1)Agriculture, Forestry, Hunting, and Fishery, (2)Transportation, Storage, and Communication, (3)Financing, Insurance, Real Estate, and Business Services, (4)Manufacturing Industry, (5)Manufacturing, dan (6) Construction.

· 2005-2006

Industri-industri yang memiliki tren positif seperti (1) Mining and Quarrying, (2) Electricity, Gas, and Water, (3) Wholesale Trade, Retail Trade, Restaurant and Hotel, (4) Transportation, Storage, and Communication, (5) Community, Social, and Personal Services, (6) Financing, Insurance, Real Estate, and Business Services, dan (7) Construction

· 2006-2007

Industri-industri yang memiliki tren positif seperti (1) Agriculture, Forestry, Hunting, and Fishery, (2) Mining and Quarrying, (3) Wholesale Trade, Retail Trade, Restaurant and Hotel, (4) Transportation, Storage, and Communication, (5) Community, Social, and Personal Services, (6) Financing, Insurance, Real Estate, and Business Services, (7) Construction, dan (8) Manufacturing.

B. Penurunan

· 2004-2005

Industri-industri yang memiliki tren menurun seperti (1) Mining and Quarrying, (2) Electricity, Gas, and Water (3) Wholesale Trade, Retail Trade, Restaurant and Hotel, dan (4) Community, Social, and Personal Services

· 2005-2006

Industri-industri yang memiliki tren menurun seperti (1) Agriculture, Forestry, Hunting, and Fishery dan (2) Manufacturing

· 2006-2007

Industri-industri yang memiliki tren menurun seperti Electricity, Gas, and Water.

Dari data tersebut dapat diketahui bahwa rata-rata industri mengalami peningkatan penyerapan tenaga kerja dari tahun 2004 hingga tahun 2007. Hanya ada beberapa industri yang mengalami penurunan, yaitu mining and quarrying, electricity, gas and water, wholesale trade, retail trade, restaurant, and hotel, dan personal services pada periode tahun 2004-2005, agriculture forestry, hunting, and fishery dan manufacturing pada periode tahun 2005-2006, serta electricity, gas, and water pada periode tahun 2006-2007. Pada grafik 3 tampak bahwa ada 3 industri yang memiliki potensi terjadinya penurunan penyerapan tenaga kerja dimasa mendatang, yaitu electricity, gas and water, Community, Social, and Personal Services, dan Financing, Insurance, Real Estate, and Business Services.

Pada industri electricity, gas and water, potensi penurunan ini disebabkan oleh semakin menipisnya cadangan sumber energi dunia, seperti gas, minyak bumi, dan batubara. Kemudian, dalam jangka panjang hanya akan ada beberapa perusahaan terkuat yang mampu bertahan dan secara simultan akan menyebabkan perusahaan lain berhenti beroperasi akibat kelangkaan sumber energi tersebut.

Pada industri Community, Social, and Personal Services, penurunan ini dipicu oleh ketatnya persaingan. Hal ini diakibatkan oleh rendahnya barrier of entry untuk dapat membuka usaha disektor ini. Sehingga dalam jangka panjang, semua perusahaan hanya akan menikmati average margin yang rendah, akibat ketatnya persaingan. Untuk selanjutnya, hanya akan ada beberapa pemain besar yang mampu bertahan dengan bekal loyalitas pelanggan dan kualitas pelayanan yang dimilikinya, serta harga yang kompetitif yang ditawarkan kepada pelanggan.

Potensi penurunan pada industri Financing, Insurance, Real Estate, and Business Services disebabkan karena penggunaan teknologi informasi. Industri ini sangat membutuhkan kecepatan dan kemudahan dalam berhubungan dengan pelanggan. Sehingga hal ini mengharuskan mereka untuk melakukan otomatisasi seluruh sistem kerjanya. Kondisi ini akan menyebabkan kebutuhan akan tenaga kerja manusia menjadi berkurang, akibat dari sistem kerja yang dilakukan secara elektronik ter-otomatisasi.

Secara umum, industri di Indonesia mampu menyerap tenaga kerja dari semua latar belakang tingkat pendidikan dengan tren persentase peningkatan pada periode tahun 2004-2005, 2005-2006, dan 2006-2007 masing-masing sebesar 0,3%, 2%, dan 5%.

IV. Tingkat Pengangguran Berdasarkan Latar Belakang Pendidikan

Pencanangan program wajib belajar 9 tahun ternyata telah mampu membantu mengurangi tingkat pengangguran masyarakat dengan latar belakang TK, SD, SMP, dan SMA. Hal ini terbukti pada grafik tingkat pengganguran tahun 2004-2007 yang dipulikasikan oleh BPS.

Program wajib belajar tersebut telah mampu untuk menyadarkan masyarakat akan pentingnya pendidikan, dimana saat ini, sebagian besar masyarakat kita memiliki tingkat pendidikan minimum SMP.

Namun, keadaan ini tidak diimbangi oleh ketersediaan lapangan kerja bagi mereka yang memiliki latar belakang diploma dan sarjana lulusan universitas. Keadaan ini menimbulkan labor supply tingkat sarjana menjadi over demanded. Sehingga hal ini menyebabkan terjadinya peningkatan jumlah pengangguran alumnus perguruan tinggi dan diploma yang masing-masing mencapai 43% pada periode tahun 2006-2007.

Belum pulihnya kondisi perekonomian pasca krisis diduga menjadi penyebab terjadinya hal tersebut. Selain itu, ekspectasi dari alumnus universitas dan diploma atas jenis pekerjaan formal diduga juga berkontribusi atas peningkatan angka penggangguran di Indonesia. Hal tersebut adalah wajar, karena mereka berharap akan lapangan kerja yang aman dan mampu memberikan penghasilan yang besar, sedangkan kalangan usaha menginginkan karyawan dengan gaji yang murah, terlebih lagi pertumbuhan penyerapan tenaga kerja disemua sektor industri hanya mencapai 5% ditahun 2007.

Secara umum, berdasarkan data statistic, kita harus mengakui keberhasilan program wajib belajar 9 tahun yang dicanangkan oleh pemerintah. Program ini telah membantu menurunkan tingkat pengangguran pada periode 2005-2006 dan 2006-2007 masing-masing sebesar 13% dan 8%.

V. Permasalahan

Ketimpangan antara sektor ketenagakerjaan dengan sektor pendidikan merupakan side effect dari program wajib belajar 9 tahun. Pencanangan program tersebut terjadi ketika Indonesia mengalami krisis ekonomi berkepanjangan, dan bahkan hingga saat ini Indonesia belum mampu bangkit dari keterpurukan akibat krisis ekonomi tersebut.

Saat ini, kita telah melihat keberhasilan dari program tersebut, dimana masyarakat mulai sadar akan pentingnya pendidikan, terbukti dari semakin banyaknya angka partisipasi sekolah serta semakin rendahnya persentase angka pengangguran lulusan SD, SMP,dan SMA. Namun hal ini terjadi sebaliknya pada masyarakat alumnus perguruan tinggi dan diploma, dimana persentase angka pengangguran selalu meningkat dari tahun ketahun.

Beberapa hal yang melatarbelakangi hal tersebut adalah :

1. Belum pulihnya sektor perekonomian dan industri di tanah air

2. Kecenderungan alumnus PT dan diploma di Indonesia untuk mencari pekerjaan disektor formal – sektor yang aman

3. Kebanyakan lulusan PT dan diploma saat ini belum memenuhi kriteria yang disyaratkan oleh dunia usaha

4. Lemahnya mental alumnus PT dan diploma dalam usahanya mencari sumber penghasilan – alumnus beranggapan bahwa keberhasilan pendidikannya diukur dari kepada siapa / di perusahaan mana dia dapat bekerja, bukan pada usaha apa yang seharusnya dapat mereka ciptakan.

5. Pergeseran kewajiban lulusan PT – alumnus PT sebenarnya dicetak untuk menjadi Job Maker, namun saat ini telah bergeser menjadi Job Seeker.

Selain itu, ketimpangan tersebut juga dapat diakibatkan oleh kelalaian pemerintah sebagai pemilik program wajib belajar 9 tahun. Pemerintah cenderung untuk berusaha mencapai tujuan program tanpa memperhatikan side effect dari program yang diluncurkannya tersebut. Pemerintah saat itu tidak mengimbanginya dengan perbaikan pada sektor industri, sehingga ketika program tersebut sudah mulai menunjukkan hasilnya, maka hal inilah yang terjadi, yaitu ketimpangan antara sektor bisnis dengan sektor pendidikan.

VI. Saran

Beberapa tindakan yang dapat ditempuh oleh pemerintah dan kalangan akademisi yaitu :

1. Perbaikan sektor makro ekonomi

2. Memperkokoh sektor mikro

3. Melakukan kolaborasi dengan sektor bisnis serta senantiasa mensyaratkan seluruh organisasi bisnis menjunjung tinggi prinsip-prinsip etis dan good governance – hal ini bertujuan untuk menciptakan trust bagi investor asing agar mau menanamkan modalnya di Indonesia. Sehingga hal ini diharapkan mampu untuk menjadi katalis bagi pertumbuhan sector perindustrian di Indonesia

4. Kalangan akademisi selalu melakukan up-date atas kriteria alumnus yang diinginkan oleh sektor bisnis

5. Kalangan akademisi harus mampu mananamkan jiwa entrepreneurship dan kemandirian kedalam jiwa mahasiswanya – tujuannya adalah agar mampu membentuk mind set bahwa tugas seorang sarjana adalah menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat lulusan SD, SMP, dan SMA. Sehingga, ketika seorang mahasiswa telah lulus, maka diharapkan dirinya tidak memberikan kontribusi atas bertambahnya tingkat pengangguran di Indonesia

6. Mendorong sektor perbankan untuk berperan aktif dalam mendukung aktifitas usaha yang dilakukan oleh mahasiswa-mahasiswa alumnus PT.

Upaya-upaya diatas ditujukan untuk memperbaiki sistem perekonomian dan kondisi dunia industri, agar dimasa mendatang industri di tanah air mampu menyerap tenaga kerja, yang umumnya alumnus SMP, SMA, diploma, dan universitas, lebih banyak. Sehingga ketimpangan seperti yang telah dijelaskan diatas dapat segera diatasi.

Namun kemudian yang perlu diperhatikan adalah konsistensi dari program wajib belajar 9 tahun. Pemerintah harus terus berupaya meningkatkan tingkat pendidikan Rakyat Indonesia. Lebih jauh lagi, pemerintah harus berupaya meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, bukan hanya sekedar meningkatkan kuantitas rakyat terdidik.

Sehingga, dengan cara tersebut, diharapkan kesenjangan antara dunia pendidikan dan dunia industri / ketenagakerjaan dapat segera diselaraskan.


Sekian
Adhitya Cahya Nugraha

Wednesday, September 17, 2008

Pentingnya Implementasi Corporate Governance

Corporate Governance (CG) adalah topik yang mencuat ditengah-tengah publik sebagai akibat dari semakin gencarnya publikasi mengenai Fraud dan keterpurukan bisnis akibat kesalahan yang dilakukan oleh para eksekutif manajemen. Sehingga hal tersebut meningkatkan tuntutan dari publik, terutama para investor, mengenai penerapan Good Corporate Governance yang mengacu pada international best practice.

Cadbury Committee mendefinisikan bahwa CG merupakan seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang saham, manajemen, kreditur, government, karyawan, serta para stakeholder internal maupun eksternal lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka, atau dengan kata lain merupakan suatu sistem yang mengendalikan perusahaan.

Good Corporate Governance ditujukan untuk dapat menciptakan hubungan yang kondusif dan dapat dipertanggungjawabkan diantara elemen-elemen di dalam perusahaan, seperti Dewan Komisaris, Dewan Direksi, dan para pemegang saham, dalam rangka meningkatkan kinerja perusahaan. Simplify bertujuan untuk menekan agency cost, baik antara manajemen-shareholder maupun manajemen-kreditur. Sehingga hal tersebut menuntut adanya sistem pertanggungjawaban manajemen kepada Dewan Komisaris dan pertanggungjawaban Dewan Komisaris kepada para pemegang saham yang baik.

Dalam paradigma tersebut, Dewan Komisaris harus dapat memastikan bahwa manajemen telah benar-benar bekeja demi kepentingan perusahaan sesuai dengan strategi yang telah ditetapkan serta menjaga kepentingan para pemegang saham, yaitu untuk meningkatkan nilai perusahaan. Kemudian, Dewan Komisaris juga memegang peranan penting dalam mengarahkan strategi dan mengawasi jalannya perusahaan serta memastikan bahwa para manajer benar-benar berusaha untuk meningkatkan kinerja perusahaan sebagai bagian dari pencapaian tujuan perusahaan. Hal tersebut berarti bahwa inti dari CG adalah Dewan Komisaris. Dewan Komisaris merupakan suatu mekanisme mengawasi dan mekanisme untuk memberikan petunjuk dan arahan kepada manajemen perusahaan. Mengingat tugas manajemen adalah untuk meningkatkan efisiensi dan daya saing perusahaan, maka dewan komisaris merupakan pusat ketahanan dan kesuksesan perusahaan.

Output yang diharapkan dari implementasi CG adalah trust. Hal ini dikarenakan CG merupakan faktor terpenting yang menentukan aliran modal asing kedalam suatu negara. Dengan kata lain bahwa suatu perusahaan/ negara akan mampu menarik investor asing untuk mau menanamkan modalnya kedalam suatu perusahaan/ negara jika investor asing tersebut memiliki kepercayaan/ trust bahwa investasinya akan aman dan bahkan dapat memberikan nilai yang lebih besar.

Mendapatkan trust dari investor, terutama investor asing, bukanlah suatu hal yang mudah untuk dilakukan. Hal tersebut tidak dapat dilakukan hanya melalui aktivitas promosi. Trust, dan untuk selanjutnya modal asing, hanya bisa didapat melalui kinerja dan prospektus investasi perusahaan yang baik serta jelas. Kinerja perusahaan yang baik hanya dapat diwujudkan melalui governance perusahaan yang baik. Sehingga dengan governance yang baik diharapkan akan menciptakan suatu perusahaan yang baik, baik secara nasional maupun internasional, serta diharapkan akan memudahkan perusahaan untuk mengakses sumber dana internasional, yang memiliki jumlah potensial yang sangat banyak dan yang internationally diversified- sehingga dapat menekan systematic risk atas instrumen equity dan atau leverage yang dipilih oleh perusahaan.

Singkat kata, GCG merupakan pilar utama dari suatu market economy yang berhubungan dengan investor's confidence, baik didalam suatu perusahaan maupun lingkungan bisnis secara keseluruhan, yang terwujud melalui fair competition dan iklim bisnis yang kondusif, yang diharapkan akan menciptakan suatu sustainable economic growth and stability.

Sekian.

Adhitya Cahya Nugraha.